Last Updated on September 8, 2014 by
GILAMOTOR.com – Hamparan hutan terlihat berwarna biru dan hijau dari jendela pesawat yang kami tumpangi saat terbang merendah di atas tanah kota Malang. Kota di Jawa Timur itu dikatakan para ahli sejarah namanya diambil dari gabungan tiga kata, Malangkuçeçwara (baca: Malangkusheswara) yang tertulis di dalam lambang kota itu, yakni mala yang berarti kecurangan, kepalsuan, dan kebatilan; angkuça (baca: angkusha) yang berarti menghancurkan atau membinasakan; dan Içwara (baca: ishwara) yang berarti “Tuhan”. Sehingga, Malangkuçeçwara berarti “Tuhan telah menghancurkan kebatilan”.
Saat sebagian penumpang pesawat masih menikmati pemandangan di luar melalui jendela, kami dikejutkan oleh guncangan dari roda pesawat menyentuh aspal bandara Abdul Rachman Saleh di Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Itu pertanda, bahwa kami harus bersiap meninggalkan pesawat yang mengantarkan kami dari bandara internasional Soekarno-Hatta di Jakarta.
Selamat datang di Malang. Sebuah kota di Jawa Timur di dataran tinggi yang cukup sejuk, terletak 90 km sebelah selatan kota Surabaya. Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, dan dikenal dengan julukan kota pelajar.
Saat kami keluar dari Boing 737-800, matahari seperti membakar segala yang ada di kota itu. Tapi bagi kami yang tinggal di Jakarta, sinarnya sungguh sebuah nikmat setelah hampir dua pekan Jakarta seolah tanpa matahari.
Di luar bandara para supir taksi senyum terkembang menawarkan kami tumpangan. “Selamat datang di Malang, Anda mau kemana?†Kami hanya mengangkat tangan kami sebagai penolakan jasa mereka. Karena Yamaha Indonesia yang mengundang kami untuk melakukan touring dengan menggunakan Raja Matik Yamaha GT125 Eagle Eye telah menyiapkan satu unit bus untuk mengantarkan kami ke dealer Yamaha Belimbing Motor Malang, sebagai titik awal perjalanan touring kami menuju Bali.
20 awak media dari Jakarta tiba di dealer Yamaha Belimbing Motor Malang. Sekitar 22 unit GT125 Eagle Eye yang akan kami kendarai menuju Bali terparkir rapi di halaman, menyambut kedatangan kami. Usai menikmati suguhan makanan dan minuman, kami pun bersiap melanjutkan perjalanan dengan GT125 Eagle Eye. Helm, jaket, sarung tangan serta pelindung lutut dan siku jadi perlengkapan berkendara wajib yang harus kami gunakan.
Mesin GT125 Eagle Eye terdengar halus saat tombol elektrik starter ditekan. Kerja mesinnya pun tak membuat getar berlebih di bodi dan stang kemudinya. Panel instrument penunjuk kecepatan, jarak dan jarum penunjuk isi bahan bakar terbaca jelas di depan kami. Itu sangat memudahkan kami untuk memantau kecepatan, jarak tempuh dan kondisi bahan bakar yang tersisa di tangki. Posisi duduk sangat ergonomic namun sedikit terselip aura racy. Dan itu sangat membantu kami saat menempuh perjalanan sekitar 230 km.
Dari dealer Yamaha Belimbing Malang kami bergerak menuju Lumajang kemudian masuk ke kota Jember dan Bondowoso sebagai destinasi akhir perjalanan kami di hari pertama pada Kamis 23 Januari 2014.
Separuh perjalanan dari Malang ke Lumajang kami habiskan di dalam kota di bawah cuaca cerah. Di dalam kota, kondisi berkendara stop and go sering terjadi dan rombongan tak bisa berjalan di atas 60 km per jam. Maklum, maski kondisi jalan tak seramai di Jakarta, tapi dua unit Yamaha FJR 900 tunggangan Polisi yang mengawal perjalanan kami harus menjaga kecepatannya untuk menghindari kecelakaan yang melibatkan warga sekitar.
Menuju kawasan jembatan Piket nol, jarum speedo meter mulai menunjuk angka lebih tinggi. Tangan dan tubuh kami mulai ikut menari untuk mengarahkan GT125 Eagle Eye melewati jalan berliku yang mengular. Tak hanya jalan berliku, kami pun dimanjakan suasana alam yang asri dimana udara masih terasa murni tanpa terkontaminasi racun asap pabrik dan kendaraan bermotor.
Yamaha tampaknya tahu betul apa yang butuhkan dan diharapkan bikers atau pengendara harian dari sebuah motor matik bermesin 125cc yang telah mengadopsi teknologi YMJet-FI (Yamaha Mixture Jet-Fuel Injection) ini. Paduan sempurna antara performa dan kestabilan memberi kenikmatan berkendara di tiap meter jalan aspal yang kami lalui. Yamaha tak melepaskan aura racy pada GT125 Eagle Eye, sama seperti generasi Xeon RC yang jadi basis pengembangan GT125 Eagle Eye.
Tak hanya jurnalis Gilamotor.com yang merasakan, tapi seluruh peserta turing itu mengakui kalau soal handling, braking, cornering dan performance GT125 Eagler Eye punya keunggulan.
Rangka, suspensi dan pengereman jadi kunci kesuksesan kami melibas tiap tikungan. Meski awalnya ragu karena kami pikir skutik tak setangguh motor sport touring untuk dipacu kencang di tikungan, tapi di touring ini semua itu terbantahkan. Rangka dan suspensi yang rigid memberi keyakinan saat melibas tikungan tajam. Tak jarang kami menikung dengan kecepatan di atas 60 km/jam. Tak ada gejala limbung yang terjadi. Tapi imbasnya, saat roda menerjang jalan rusak kenyamanan akan sedikit berkurang. Namun secara keseluruhan, handling GT125 Eagle Eye sangat mantap.
Tampaknya para rombongan semakin yakin dengan performa dan handling si Raja Matik Yamaha ini. Laju GT125 Eagle Eye pun semakin cepat dan secara ukuran jarak meter kami saling berjauhan antara satu dengan yang lain. Maklum, kami harus menjaga jarak aman untuk menghindari terjadinya kecelakaan beruntun.
Sesaat sebelum memasuki jembatan Piket nol hujan deras memaksa kami menurunkan kecepatan dan menaikkan sudut kemiringan saat menikung. Selain jarak pandang semakin terbatas, kami pun harus berhati-hati dengan kondisi jalan licin. Tapi dengan kondisi seperti itu, grip ban tetap bekerja seperti biasa. GT125 Eagle Eye memang seperti Elang yang terbang di dataran tinggi tanah Jawa Timur. Melesat kencang melewati jalan lurus seperti seekor Elang yang melesat melawan arah angin. Meliuk gesit di jalan menikung seperti Elang yang menukik tajam.
Melewati jembatan Piket nol kami berjalan lebih lambat, menikmati eksotisme berbalut kisah mistis jembatan yang menghubungkan kota Malang dan Lumajang. Nama Piket Nol sendiri diambil dari aktivitas di lokasi itu pada masa penjajahan. Jalur ini selalu dipakai pemerintah kolonial untuk memeriksa setiap angkutan yang membawa hasil bumi. Jalur ini dipilih Yamaha karena menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Termasuk indahnya gunung yang jadi salah satu sasaran para pendaki, yakni Semeru.
Sayang, hujan yang turun menghalangi pandangan kami menikmati kokohnya Gunung Semeru. Jadi kami hanya bisa melihat apa yang ada di bawah dan di sekeliling jalan yang kami lalui.
Jembatan ini diapit oleh pemandangan pegunungan dan laut. Jembatan ini sendiri berada di dusun Supiturang, Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur. Saat cuaca cerah, panorama jembatan ini cukup indah khas pegunungan, lembah dan ngarai. Sedang di bawah jembatan pemandangan bebatuan dan aliran lahar dingin Gunung Semeru menuju Samudra Hindia.
Tiga per empat dari seluruh perjalanan dari Malang menuju Bondowoso kami lalui di bawah guyuran hujan. Kami sangat menikmati itu. Walau sebagian rekan kami mengeluhkan kondisi sepatu dan kaus kakinya menjadi basah.
Setelah sekitar 9 jam menempuh perjalanan dari Malang menuju Bondowoso, kami beristirahat di Hotel Ijen View yang berlokasi di Jl. KIS. Mangunsarkoro No. 888, Bondowoso, Jawa Timur. Sesungguhnya dari hotel di bawah Gunung Ijen ini kami bisa menikmati pemandangan alam Jawa Timur yang luar biasa indah. Tapi kami terlalu lelah untuk menghabiskan malam di luar kamar sementara pekerjaan kami sebagai jurnalis harus kami selesaikan saat itu juga. Keesokan harinya kami pun tak punya banyak waktu untuk sekedar memotret suasana di sekitar hotel. Pasalnya, saat ruh kami masih berkelana di alam mimpi, pesawat telpon di kamar kami berdering, mengantarkan kami kembali dari mimpi untuk bersiap melanjutkan perjalanan menuju Pulau Dewata, Bali.
Bondowoso sendiri merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Ibukota Kabupaten Bondowoso berada di persimpangan jalur dari Besuki dan Situbondo menuju Jember. Bondowoso merupakan satu – satunya Kabupaten di daerah Tapal Kuda yang tidak memiliki garis pantai.
Yamaha GT125 Eagle Eye mengantarkan kami menyelesaikan touring di hari pertama dari Malang menuju Bondowoso. Hari kedua, kami akan bergerak menuju Bali sambil menikmati tebing curam dan tebalnya kabut di Gunung Ijen.
Cerita Berlanjut di